BI Naikkan Suku Bunga, Cicilan Makin Mahal

Berita32 Dilihat

SULSELONLINE.COM – Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga BI 7 days reverse repo rate 50 bps menjadi 4,25%. Sebelumnya, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps.
Bunga acuan digunakan sebagai patokan untuk menentukan suku bunga dana dan bunga kredit. Kebijakan ini dilakukan beberapa saat setelah pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertalite, Solar, dan Pertamax.

Beberapa ekonom menganggap kenaikan suku bunga adalah respon mengantisipasi lonjakan inflasi. Tekanan terhadap rupiah juga diprediksi akan berkurang.

“Justru kalau BI tidak menaikkan suku bunga acuan, dampaknya besar, dampak negatifnya besar. Dan itu mempengaruhi ekonomi yang ujung-ujungnya ditanggung oleh masyarakat,” katanya mengutip detikcom, Kamis (22/9/2022).

Meski demikian, kenaikan suku bunga acuan memberikan dampak lain kepada masyarakat. Berikut sederet dampak kenaikan suku bunga bagi masyarakat.

1. Nyicil Motor Makin Mahal
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid mengatakan, suku bunga kredit untuk kendaraan akan mengalami kenaikan menyusul kenaikan suku bunga BI tersebut.

Menurutnya, jumlah orang yang mencicil motor, mobil atau rumah akan berkurang. Kelompok masyarakat itu akan mengalihkan fokus dan mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM.

Namun, dia menuturkan, penyesuaian kredit kendaraan yang masuk dalam suku bunga kredit konsumsi ini akan berjalan relatif lebih lambat. Dia mengatakan, kredit perbankan saat ini mulai tumbuh, sementara likuiditas bank masih longgar.

Hal itu membuat bank tidak segera melakukan penyesuaian suku bunga saat BI mengerek bunga acuan sebelumnya. Menurut Tauhid saat ini pertumbuhan kredit yang cukup tinggi ada pada kredit modal kerja dan investasi.

Sementara, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan, bank akan melakukan penyesuaian bunga pinjaman dengan cepat. Meski, sebagian bank masih memiliki likuiditas yang gemuk.

“Untuk kredit konsumsi seperti KPR dan kredit kendaraan bermotor dalam beberapa bulan ke depan awan cukup gelap. Bank harus bersiap cari cara agar nasabah KPR masih tertarik meminjam. Misalnya promo bunga fix rate untuk KPR diperpanjang hingga 5 tahun,” jelasnya.

2. Cicilan UMKM Makin Mencekik
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, kenaikan suku bunga acuan BI ini sebagai respons atas inflasi yang cenderung tinggi dan dikhawatirkan mempengaruhi daya beli masyarakat. Lanjutnya, dampaknya kepada masyarakat termasuk kepada UMKM juga akan dipengaruhi oleh likuiditas dan risiko kredit perbankan.

“Jadi dua itu yang akan mempengaruhi karena masing-masing bank memiliki kecepatan yang berbeda-beda atau kondisi-kondisi berbeda. Artinya penyesuaian suku bunga juga akan berbeda-beda masing-masing bank,” katanya kepada detikcom, Kamis (22/9/2022).

 

“Kenaikan suku bunga perbankan khususnya suku bunga kredit tentunya akan mulai terlihat, terindikasi di tahun depan. Jadi awal-awal tahun depan baru mulai dampak paling tidak semester 1 kelihatan,” jelasnya.

Dengan demikian, kata dia, suku bunga kredit UMKM akan lebih mahal. Namun, itu juga tergantung pada risiko calon debiturnya.

“Betul, kredit baru akan lebih mahal, karena penyesuaian kan. Bergantung lagi dalam hal pengajuan kredit, masing-masing bank analisis kredit bisa berbeda calon debiturnya,” ujarnya.

Sementara, Bhima Yudhistira mengatakan, selama ini UMKM telah mengeluhkan bunga bank mahal. Adanya kenaikan suku bunga acuan BI ini membuat bunga bank tambah mahal.

“Bagi pelaku usaha UMKM sebelum bunga acuan naik sudah mengeluh bunga bank mahal, tentu di luar dari subsidi bunga KUR. Setelah naiknya bunga acuan secara agresif maka bunga pinjaman nasabah UMKM akan naik cukup tajam,” ujarnya.

3. Cicilan Rumah Makin Mahal
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, langkah ini merupakan respon BI terhadap potensi melonjaknya inflasi. Meskipun, kebijakan ini bisa berdampak negatif ke kalangan bawah.

“Yang punya cicilan rumah, cicilan motor jadi lebih mahal cicilannya karena bunganya lebih tinggi. Padahal dari sisi demand-nya sudah juga terkoreksi karena ada inflasi, harga barang mahal, biaya hidup sudah mahal, mencicil di bank juga bakal lebih mahal,” katanya.

Naiknya suku bunga acuan akan direspon dengan naiknya suku bunga kredit. Biaya kredit ke perbankan jadi lebih mahal, membuat penyaluran kredit ke sektor riil terhambat.

Padahal menurut Faisal, kredit perbankan saat suda menyentuh double digit di atas 10%. Kalau suku bunga acuan naik ini bisa menurunkan kembali penyaluran kredit hingga menahan laju perputaran roda ekonomi. Alhasil masyarakat bawah juga lah yang akan terdampak.

“Nah ini yang perlu diwaspadai, karena dalam kondisi ini kan perlu ada insentif-insentif yang diberikan, terutama masyarakat terdampak yaitu kalangan bawah,” katanya menambahkan.

Untuk itu Faisal meminta pemerintah mengoptimalkan program bantuan sosial yang ada. Sebab selama ini ketepatan dan kecepatan penyaluran bansos seperti BLT atau BSU dianggap kurang optimal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *